Desember 22, 2010

Untuk Ibunda di Seluruh Dunia


Pada suatu hari, ketika Hasan al-Bashri thawaf di Ka’bah, Makkah, beliau bertemu dengan seorang pemuda yang memanggul keranjang di punggungnya. Beliau bertanya padanya apa isi keranjangnya. “Aku menggendong ibuku di dalamnya,” jawab pemuda itu. “Kami orang miskin. Selama bertahun-tahun, ibuku ingin beribadah haji ke Ka’bah, tetapi kami tak dapat membayar ongkos perjalanannya. Aku tahu persis keinginan ibuku itu amat kuat. Ia sudah terlalu tua untuk berjalan, tetapi ia selalu membicarakan Ka’bah, dan kapan saja ia memikirkannya, air matanya bergelinang. Aku tak sampai hati melihatnya seperti itu, maka aku membawanya di dalam keranjang ini sepanjang perjalanan dari Suriah ke Baitullah. Sekarang, kami sedang thawaf di Ka’bah! Orang-orang mengatakan bahwa hak orangtua sangat besar. Pemuda itu bertanya, “Ya Imam, apakah aku dapat membayar jasa ibuku dengan berbuat seperti ini untuknya?” Hasan al-Bashri menjawab, “Sekalipun engkau berbuat seperti ini lebih dari tujuh puluh kali, engkau takkan pernah dapat membayar sebuah tendanganmu ketika engkau berada di dalam perut ibumu!”


“Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi
Tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia”
***
Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
*********


Mei 15, 2010

The Power of Smile



Just Smile, and see how smile shows its magic.



فقال: (وتبسمك في وجه أخيك صدقة) رواه الترمذي وصححه ابن حبان.


"Smile in front of your brother is charity". - At Tirmidzi



*p

Januari 03, 2010

NIAT


INGAT nggak, ketika kita kecil, mungkin di suasana perayaan tujuh belasan di kampung? Di sebuah lintasan rumput atau tanah, ada beberapa lintasan yang dibatasi tali rafia. Kita, yang masih kanak-kanak, ada di salah satu lintasan tersebut. Di depan wajah kita, ada sebuah sendok yang kita gigit pangkalnya. Di cekungan sendok itu ada kelereng. Kita jaga mati-matian supaya kelereng itu tidak jatuh dari sendok, selama kita berjalan secepat mungkin menuju garis finish di depan sana.


Ketika itu, jantung kita berpacu kencang, kencang banget. Dag-dug-dag-dug… . Nafas kita memburu, saling menyusul dengan detak jantung. Di punggung, kedua tangan kita saling menggenggam. Kaki-kaki kita mencoba melangkah secepat mungkin, tapi kita atur kecepatannya sampai pada titik yang ‘pas’ : tidak terlalu lambat sehingga bisa mendahului peserta lain, tapi tidak terlalu cepat sehingga kita kehilangan keseimbangan dari semua faktor pendukung, yang pasti akan menyebabkan ‘out of control’: kelereng kita jatuh dari sendoknya. Ada satu titik yang paling pas,somewhere in between, dan kita akan menemukan ‘titik keseimbangan semuanya’ itu dalam di proses melakukannya. Titik itu akan kita temukan sendiri setelah berangkat dari garis start.


Kita bahkan tidak menyadari teriakan-teriakan penonton yang begitu riuh. Ekspresi orang tua kita yang begitu senang menyaksikan kita ‘bertarung di arena’ sambil bertepuk tangan memberi semangat, tidak lagi kita perhatikan. Kita pun tidak memperhatikan kalau anak cewek yang kita taksir sedang meneriakkan nama kita di pinggir sana, memberi semangat. Dan kita juga, dengan sendirinya, tidak (merasa perlu) membayangkan gimana manisnya nanti ekspresi senyum malu-malu si anak itu, ketika hadiah kemenangan lomba ini kita kasihkan ke dia. Itu, pretty much, ‘kagak usah dibayang-bayangin sekarang’. Pokoknya manis.


Pada saat itu, kita adalah ‘gladiator’ di arena rumput dan bentangan tali rafia. Kita tidak memikirkan untuk menikmati kemenangan: saat itu kita simply menghirup pertarungannya. Pada saat itu, apapun selain garis finish dan sendok dengan kelereng di mulut sedang tidak relevan di kehidupan kita.
balap kelereng
Sebelum berangkat, memang kita menyadari ada penonton, ada arena. Ada orang tua, ada teman-teman, ada ibu-ibu tetangga. Ada ibu tua yang berjualan minuman di pinggir lapangan, ada juga satu-dua balon yang lepas tertiup angin. Anak cewek yang manis itu juga ada di pinggir lapangan, siap memberi semangat. Tapi saat-saat menjelang wasit meneriakkan satu kata yang membuat semua peserta berpacu meninggalkan garis start, semua itu menjadi samar.
Menjelang wasit meneriakkan satu kata itu, alam semesta pelan-pelan menghilang. Dan kita tahu, nanti setelah berangkat, dengan sendirinya detak jantung, kecepatan kaki, sudut kemiringan kepala, tekanan gigi pada sendok, dan akselerasi kelajuan dan meknisme pengurangan kecepatan gerak kaki kita bertemu pada satu titik keseimbangan sempurna. A perfect equilibrium. Pada saat itu, semua hilang. Lenyap. Dan kemudian, di alam semesta ini ada dua hal saja: sendok dengan kelereng di mulut kita, dan garis finish.
Itulah niat.
Dan setelahnya, semua di alam semesta yang terhubung dengan niat kita, akan bersatu. Bahu membahu, saling menyesuaikan diri mereka masing-masing demi niat kita itu. Dan itu terjadi dengan sendirinya!
Ketika lomba balap kelereng tadi, kita tidak mengatur seberapa harusnya tekanan gigi kita pada sendok. Berapa kecepatan langkah kaki kita. Berapa sudut kemiringan kepala kita. Berapa akselerasi kita, dan pada titik mana kita harus menambah atau mengurangi kecepatan. Mereka yang akan menyesuaikan dirinya masing-masing kepada niat kita.
Niat untuk membawa kelereng di atas sendok sampai garis finish. Apapun selain itu, tidak relevan. Itulah niat. Niat bertaubat, niat kembali dan pulang kepada Allah, adalah seperti itu. Niat shalat, ya kurang lebih begitu. Niat bangun malam, ya begitu juga. Niat puasa, niat studi, ya sama saja kurang lebih. You got the picture.
Niat bukanlah ucapan atau kata-kata. Niat adalah sebuah ‘penghubungan diri’ kepada Allah, sebuah tekad yang mendasari sebuah harapan kepada Allah ta’ala, yang (membuat Dia berkenan) menundukkan hal-hal tertentu di alam semesta demi harapan kita itu.
Kenapa para sahabat Rasulullah bisa tidak menyadari apapun ketika shalat? Ya intensitas niat shalat mereka tentu luar biasa dahsyatnya. Ketika shalat, alam semesta melenyapkan diri dari mereka, bahkan diri mereka sendiri pun lenyap dalam shalatnya. Yang ada hanya Allah ta’ala, dan diri-diri mereka pun hilang, perlahan-lahan berubah menjadi ucapan-ucapan shalat yang beterbangan satu demi satu ke arah Tuhan mereka.
Dengan niat yang seperti itu, mengucapkan niat secara verbal atau tidak, bukan masalah. Kita tidak harus melafalkan sebelum perlombaan, “Saya niat balap kelereng, menggigit sendok dan menjadi peserta paling depan, dua kali bolak-balik, lillahi ta’ala.” Jika tidak tercipta sebuah ‘keterhubungan’ tadi, walaupun dengan niat yang dilafalkan, pengucapan itu bahkan tidak ada gunanya.
Pelafalan niat hanya sebuah cara, metode pengkondisian diri. Niat yang dilafalkan barulah niat secara jasad. Sedangkan niat yang secara batin, adalah niat yang seperti di atas. Idealnya, jika kita berniat, seharusnya merupakan ‘rembesan’ dari sebuah niat batin yang naik ke jasad sehingga terlafalkan. Bukan sebaliknya.
Niat bukanlah ucapan atau kata-kata. Niat adalah sebuah ‘penghubungan diri’ kepada Allah, sebuah tekad yang mendasari sebuah harapan kepada Allah ta’ala, yang (membuat Dia berkenan) menundukkan hal-hal tertentu di alam semesta demi harapan kita itu.
“Manusia hanya mendapatkan sebagaimana yang diniatkannya,” sabda Rasulullah ketika hijrah.
Senada nasihat Salim bin Abdullah kepada Umar bin Abdul ‘Aziz: “Ketahuilah wahai Umar, bahwasannya bantuan Allah kepada seorang hamba berdasar atas niatnya.Maka barangsiapa telah menyempurnakan niatnya, niscaya akan disempurnakan pula bantuan Allah kepadanya.”
Sempurnakanlah niat. Sempurnakan sehingga kelak hasilnya layak kita persembahkan pada Allah ta’ala. Hadiah lomba balap kelereng? Kita berikan sajalah pada gadis kecil manis yang kita taksir itu. Bayangkan betapa manis senyumnya nanti. []